Oleh: KH A Mustofa Bisri
Salah satu kemajuan dalam kehidupan persidangan wakil-wakil rakyat kita, sebagai hasil reformasi, adalah pengetahuan tentang dan kemampuan untuk interupsi. Sehingga ada pameo, “Tidak ada sidang tanpa interupsi.”
Kalau dulu, di Zaman Orde baru, wakil-wakil rakyat yang terhormat adalah makhluk-makhluk paling manis duduknya, kini untuk menampilkan identitas dengan interupsi itu, seringkali wakil rakyat terpaksa harus berdiri atau bahkan berlari-lari. Kalau tidak, maka akan mengalami hal seperti wakil rakyat dalam kisah nyata ini:
Syahdan, sejak ketua sidang memukulkan palu pembukaan, seorang anggota dewan yang kebetulan duduknya agak di belakang, sudah mengacungkan tangannya. Sampai sidang berlangsung cukup lama, tokoh kita ini terus mengacungkan tangannya.
Ketika beberapa rekannya banyak yang sudah diberi kesempatan dan ketua sidang belum juga melihat tangannya yang mengacung, maka tokoh kita pun menjerit sekeras-kerasnya, “Interupsi! Interupsi saudara ketua!”
Tentu saja semua kaget, terutama sang ketua yang buru-buru mempersilahkan tokoh kita ini.
“Sebetulnya sudah sejak sidang ini dibuka, saya sudah mengacungkan tangan.” Katanya dengan nada jengkel, “tapi saudara ketua kurang adil dalam melayangkan pandangan, sehingga tidak menampak tangan saya.”
Dia berhenti sejenak, melihat sebentar ke buku agendanya yang tebal, kemudian baru selanjutnya. “Sekarang, saya tidak tahu apakah apa yang akan saya sampaikan masih relevan atau tidak. Namun karena saya sudah terlanjur diberi kesempatan, perkenankanlah saya mengutarakan apa yang ingin saya utarakan sejak tadi.”
Tokoh kita berhenti lagi, melihat agendanya lagi, baru kemudian melanjutkan. “Begini saudara ketua dan rekan-rekan semua; saya mau usul sedikit. Dalam ruang sidang yang terhormat ini, saya melihat ada kekurangan yang sangat mencolok yang mungkin terlewatkan dari perhatian saudara ketua dan saudara-saudara yang lain. Maksud saya, kita harus menghormati sidang kita ini. Saya l