Gus Dur dan Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam


Oleh: KH A Mustofa Bisri

Saat membicarakan Khitthah Nahdlatul Ulama dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983,  ada 3 Sub Komisi Khitthah yang masing-masing dipimpin oleh KH. Tholchah Mansoer; Drs. Zamroni, dan H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – rahimahumuLlah.
Gus Dur waktu itu memimpin Sub. Komisi Deklarasi yang membahas tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Dan Deklarasi di bawah inilah hasilnya:
 
***
Bismillahirrahmanirrahim
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekwensi  dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama
Situbondo, 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983 M
 
***
Rapat untuk merumuskan Deklarasi di atas, hanya berlangsung singkat sekali. Pimpinan (H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) membuka rapat dengan mengajak membaca AL-Fatihah. Lalu mengusulkan  bagaimana kalau masing-masing yang hadir menyampaikan pikirannya satu-persatu dan usul ini disetujui. Kemudian secara bergiliran masing-masing anggota Sub Komisi -- dr. Muhammad dari Surabaya; KH. Mukaffi Maki dari Madura; KH. Prof. Hasan dari Sumatera;  KH. Zarkawi dari Situbondo; dan . A. Mustofa Bisri dari Rembang —berbicara menyampaikan pikirannya berkaitan dengan Pancasila dan apa yang perlu dirumus-tuangkan dalam Deklarasi.
 
Setelah semuanya berbicara, Pimpinan pun menkonfirmasi apa yang disampaikan kelima anggota dengan membaca catatannya, lalu katanya: “Bagaimana kalau kelima hal ini saja yang kita jadikan rumusan?” Semua setuju. Pimpinan memukulkan palu. Dan rapat pun usai.  
 
K. Kun Solahuddin yang diutus K. As’ad Samsul Arifin untuk ‘mengamati’ rapat, kemudian melapor ke K. As’ad. Ketika kembali menemui Pimpinan dan para anggota Sub Komisi, K. Kun mengatakan bahwa K. As’ad kurang setuju dengan salah satu redaksi dalam Deklarasi hasil rapat dan minta untuk diganti. Sub Komisi Khitthah pun mengutus A. Mustofa Bisri untuk menghadap dan berunding dengan K. As’ad. Hasilnya ialah Deklarasi di atas.
 
Yang masih menyisakan tanda Tanya di benak saya selaku ‘saksi sejarah’, bagaimana Gus Dur bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang disampaikan anggota Sub Komisi dan kelimanya –termasuk saya-- merasa bahwa kesimpulan yang dirumuskannya telah mencakup pikiran kami masing-masing. Dugaan saya, Gus Dur sudah “membaca” masing-masing pribadi kami dan karenanya  sudah tahu apa yang akan kami katakan berkenaan dengan Pancasila, lalu menuliskan kelima butir rumusan tersebut. Dugaan ini sama atau diperkuat dengan fenomena yang masyhur: ketika Gus Dur sanggup menanggapi dengan pas pembicaraan orang yang –padahal-- pada saat berbicara, Gus Dur tidur. Wallahu a’lam.

Kang Kasanun


Oleh: KH A Mustofa Bisri

Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku ceritakan ini, baik dari ayah atau kawan-kawannya seangkatan di pesantren, aku diam-diam mengaguminya. Bahkan seringkali aku membayangkannya seperti Superman, Spiderman, atau si Pesulap Mandrake. Wah, seandainya aku berkesempatan bertemu dengannya dan dapat satu ilmu saja, lamunku selalu. Ayah maupun kawan-kawannya selalu menyebutnya dengan Kang Kasanun. Tidak ada yang menyebut namanya saja. Boleh jadi karena faktor keseniorannya atau karena ilmunya.

Kiai Mabrur, guruku ngaji Quran dan salah seorang kawan ayah di pesantren, paling semangat bila bercerita tentang Kang Kasanun. Aku dan kawan-kawanku paling senang mendengarkannya; apalagi Kiai Mabrur bila bercerita tentang tokoh yang dikaguminya itu acapkali sambil memperagakannya. Misalnya ketika bercerita bagaimana Kang Kasanun dikeroyok para begal, Kiai Mabrur memperagakan dengan memperlihatkan jurus-jurus silat. “Kang Kasanun itu pendekar yang ilmu silatnya komplit,” katanya terengah-engah.

“Yang saya peragakan itu tadi jurus silat Cibadak. Jurus yang digunakan Kang Kasanun membekuk tujuh begal yang mencegatnya di perjalanan. Tujuh orang dan Kang Kasanun sendirian. Bayangkan! Kami sendiri, saya dan beberapa kawan yang berminat, setiap malam Jumat dia ajari jurus-jurus silat dari berbagai cabang. Tapi mana mungkin bisa seperti dia? Dia itu bahkan mempunyai ilmu cicak. Bila sedang bersilat, bisa nempel dan merayap di dinding.”

Ayah sendiri sering juga bercerita tentang Kang Kasanun, tapi tidak dengan memperagakannya seperti Kiai Mabrur. “Nggak tahu, dia itu ilmunya dari mana?” kata ayah suatu hari ketika sedang bercerita tentang kawannya yang disebutnya jadug itu. “Di samping menguasai ilmu silat, ilmu hikmahnya aneh-aneh. Hanya dengan merapalkan bacaan aneh –campuran bahasa Arab dan Jawa– dia bisa membuat tidur seiisi mushalla. Pernah dia menjadi tontonan orang sepasar gara-gara dia dihina penjual lombok lalu lombok satu pikul dimakannya habis. Dia tidak apa-apa, tapi penjualnya kemudian yang murus. Kata kawan-kawan dia juga bisa memanggil burung yang sedang terbang di udara dan ikan di dalam sungai.”

“Kata Kiai Mabrur, Pak Kasanun juga bisa menghilang, betul Yah?” tanya saya.

Ayah tersenyum dan pandangannya seperti menerawang ke masa lalunya. “Pernah beberapa kawan diajarinya ilmu halimunan entah apa. Pokoknya ilmu untuk menghilang. Mereka disuruh puasa tujuh hari mutih, artinya bukanya hanya dengan nasi tanpa lauk apa-apa. Lalu ada satu malam ngebleng, semuanya tidak boleh tidur sama sekali. Ayah juga ikut.”

Ayah berhenti sejenak, tersenyum-senyum sendiri, mungkin terbawa kenangan masa lalunya, baru kemudian melanjutkan ceritanya. “Dari sekian orang yang ikut program halimunan itu, hanya ayah yang gagal. Ayah tahu kalau gagal, ketika ilmu itu dipraktikkan. Hari itu, kami beramai-ramai, di bawah pimpinan Kang Kasanun sendiri, datang ke toko Cina yang terkenal paling galak di kota. Kang Kasanun berpesan siapa pun di antara kami yang nanti di toko masih melihat orang lengkap dengan kepalanya, jangan sekali-kali mengambil sesuatu. Karena tandanya kalau kami sudah benar-benar hilang, tidak terlihat orang, yaitu apabila kepala semua orang tidak tampak. Dan ingat, kata Kang Kasanun, kita bukan niat mencuri tapi mengamalkan ilmu. Jadi ambil barang seadanya dan yang murah-murah saja.”

Ayah berhenti lagi, tersenyum-senyum lagi, baru sejurus kemudian melanjutkan. “Wah, saya lihat waktu itu kawan-kawan ada yang mengambil sabun, ada yang mengambil potlot, sisir, minyak rambut, dan lain-lain. Mabrur, guru Quranmu itu, malah sengaja mengambil manisan yang terletak persis di depan Cina pemilik toko yang galak itu. Anehnya, baik si pemilik toko maupun pelayan-pelayannya, seperti tidak melihat apa-apa. Setelah mengambil barang-barang itu, kawan-kawan ngeloyor begitu saja dan tak ada yang menegur. Saya yang malah ditanya Kang Kasanun, kenapa saya tidak mengambil apa-apa? Saya menjawab bahwa saya masih melihat kepala semua orang yang ada di toko. Jadi, sesuai pesan Kang Kasanun sendiri, saya tidak berani mengambil apa-apa. ’Sampeyan kurang mantap sih!’ komentar Kang Kasanun. Memang terus terang, waktu itu –sebelum menyaksikan sendiri adegan di toko itu– saya tidak percaya ada ilmu halimunan, ada orang bisa menghilang.”

“Ada tamu ya, Bu?!” tanyaku kepada ibuku yang sedang sibuk membenahi kamar tamu.

“Ya,” jawab ibu tanpa menoleh, “Kawan lama ayahmu di pesantren. Beliau akan menginap beberapa malam. Mungkin mau kangen-kangenan sama ayahmu. Dengar itu, tawa mereka.”

“Ya, asyik benar tampaknya,” timpalku. “Tamu dari mana sih, Bu?”

“Kata ayahmu tinggalnya sekarang di luar Jawa. Namanya Kasanun atau siapa?!”

“Kasanun?” tanya aku setengah berteriak.

“Ee, jangan berteriak!” bisik ibu. Tapi aku sudah bergegas meninggalkannya. Dari gorden jendela aku mengintip ke ruang tamu. Sekejab aku jadi ragu-ragu. Tamu ayah tidak seperti yang aku bayangkan. Tidak gagah, malah terlihat kecil sekali di depan ayahku yang bertubuh besar. Kurus lagi. Ah, jangan-jangan ini bukan Kasanun sang pendekar yang sering diceritakan Kiai Mabrur. Masak kerempeng begitu. Tapi setelah nguping, mendengar pembicaraan ayah dan tamunya itu sebentar, aku menjadi yakin memang itulah sang Superman, Kang Kasanun. Apalagi tak lama kemudian Kiai Mabrur datang dan saling berpelukan dengan si tamu. Nanti malam, aku harus menemuinya, kataku mantap dalam hati. Aku harus mendapatkan salah satu ilmu hikmahnya.

Kebetulan sekali, malam ketika ayah akan mengajar ngaji, aku dipanggil dan katanya, “Kenalkan, ini kawan ayah di pesantren, Kang Kasanun yang sering ayah ceritakan! Kawani dulu beliau sementara ayah mengaji.”

Begitu ayah pergi, aku segera menjabat tangan orang yang selama ini aku idolakan. Beliau menerima tanganku dengan menunduk-nunduk penuh tawadluk.

“Gus, putra ke berapa?” tanyanya dengan suara lembut.

“Nomor dua, Kiai!” jawabku sambil terus mengawasinya.

“Jangan panggil saya kiai!” katanya bersungguh-sungguh. “Saya bukan kiai. Saya memang pernah mondok di pesantren bersama ayahanda Gus, tapi tidak seperti ayahanda Gus yang tekun belajar. Saya di pesantren hanya main-main saja.”

Aku tidak begitu menghiraukan apa yang beliau katakan, aku sudah punya rencana sendiri dari tadi. Mengapa harus ditunda, inilah saatnya, mumpung hanya berdua. Kapan lagi?

“Bapak Kasanun,” kata saya sengaja mengganti sebutan kiai dengan bapak, “sebenarnya saya sudah lama mendengar tentang Bapak, baik dari ayah maupun yang lain. Sekarang mumpung bertemu, saya mohon sudilah kiranya Bapak memberi ijazah kepada saya barang satu atau dua dari ilmu hikmah Bapak.”

Mendengar permohonan saya, tiba-tiba tamu yang sejak lama aku harapkan itu menangis. Benar-benar menangis sambil kedua tangannya menggapai-gapai.

“Jangan, jangan, Gus! Gus jangan terperdaya oleh cerita-cerita orang tentang bapak. Apalagi kepingin yang macam-macam seperti yang pernah bapak lakukan. Biarlah yang menyesal bapak sendiri. Jadilah seperti ayahanda saja. Belajar. Ngaji yang giat. Dulu ayahanda Gus pernah sekali ikut dengan kegilaan masa muda bapak, tapi gagal. Mengapa? Bapak rasa karena ayahanda memang tidak serius. Beliau hanya serius dalam urusan belajar dan mengaji. Dan sekarang, lihatlah bapak dan lihatlah ayahanda Gus! Ayahanda Gus menjadi kiai besar, sementara bapak lontang-lantung seperti ini. Kawan-kawan bapak yang dulu ikutan bapak mendalami ilmu-ilmu kanuragan seperti ini rata-rata kini hanya jadi dukun. Ini masih mendingan, ada yang malah menggunakan ilmu itu untuk menipu masyarakat dengan mengaku-aku sebagai wali dan sebagainya. Orang awam yang tidak tahu, mana bisa membedakan antara karomah dan ilmu sulapan seperti itu?”

Aku tidak bisa ceritakan perasaanku melihat orang yang selama ini kukagumi menangis. Masih terdengar sesekali isaknya ketika beliau melanjutkan. “Ayahanda dan Kiai Mabrur pasti tak pernah cerita bahwa bapak ini pernah dinasihati seorang singkek tua. Karena memang bapak tak pernah menceritakannya kepada siapa pun. Sekarang ini bapak ingin menceritakannya kepada Gus. Mau mendengarkan?”

Saya hanya bisa mengangguk.

“Pernah dalam suatu perjalanan bapak, bapak kehabisan sangu. Bapak pun mampir ke sebuah toko milik seorang singkek yang sudah tua sekali. Begitu masuk toko, bapak rapalkan aji halimunan bapak. Semua pelayan dan pelanggan yang ada tak ada yang bisa melihat bapak. Bapak langsung menuju ke meja si singkek tua yang terlihat terkantuk-kantuk di kursi tingginya. Pelan-pelan aku buka laci mejanya, tempat ia menyimpan uang. Bapak ambil semau bapak. Si singkek tua tidak bergerak. Namun begitu tangan bapak akan bapak tarik dari laci, tiba-tiba tangan keriput si singkek tua memegangnya dan langsung seluruh tubuh bapak lemas tak berdaya.

’Ilmu begini, kok kamu pamel-pamelkan,’ katanya hampir tanpa membuka mulut. “Ini nyang kamu peloleh sekian lamanya belajal, he?! Kasihan kamu olang! Ilmu mainan anak-anak begini untuk apa? Paling-paling buat gagah-gahahan ha. Siapa yang nganggep kamu gagah? Anak-anak kecil sama olang-olang bodoh dan olang-olang jahat saja ha! Ada olang pintel kagum sama kamu olang? Ada? Siapa? Olang hidup apa nyang dicali? Olang hidup cali baik buat dili sendili, kalau bisa buat olang lain. Cali senang sendili, jangan bikin susah olang lain ha!’

Pendek kata, habis bapak dinasehati. Setelah itu bapak dikasih uang dan disuruh pergi. Sejak itulah bapak tidak pernah lagi mengamalkan ilmu-ilmu gila bapak. Nasihat yang bapak dapat dari singkek tua itu sebenarnya hanyalah memantapkan apa yang lama bapak renungkan tentang kehidupan bapak, tapi bapak selalu ragu.”

Pak Kasanun memegang kedua tanganku penuh sayang. Katanya kemudian, “Kini bapak sudah mantap. Jalan yang bapak tempuh kemarin salah. Mestinya sejak awal bapak mengikuti jejak ayahanda Gus. Karena itu, Gus, sekali lagi, ikutilah jejak ayahanda dan jangan mengikuti jejak bapak ini. Carilah ilmu yang bermanfaat bagi diri Gus dan bagi sesama!”

Aku tidak sempat memberi komentar apa-apa karena keburu datang Kiai Mabrur dan beberapa tamu kawan lamanya yang lain. Tapi aku masih mempunyai banyak waktu untuk merenungkan nasihatnya. 



Mbah Sidiq



Oleh KH A. Mustofa Bisri

Berita tentang Mbah Sidiq sudah sampai ke daerah kami. Entah siapa yang mula-mula menyebarluaskannya. Yang jelas, kini kebanyakan penduduk-sebagaimana penduduk di beberapa daerah lain-sudah seperti mengenal Mbah Sidiq, meski belum pernah bertemu dengan orang yang dianggap istimewa itu. Memang ada diantara mereka yang mengaku sudah mengenalnya secara pribadi, bahkan mengaku sudah menjadi orang dekatnya. Sering dibawa-bawa pergi keliling. Bila si Mbah datang ke daerah kami, selalu singgah ke rumah mereka. Dari mereka inilah nama Mbah Sidiq “melegenda”, termasuk di daerah kami.

Mereka yang mengaku dekat dengan Mbah Sidiq ini paling suka bercerita atau ditanya tentang Mbah Sidiq. Cerita mereka selalu mengasyikkan, terutama karena cara mereka bercerita memang benar-benar meyakinkan. Seperti Nasrul-seorang “aktivis” di tempat kami yang memang biasa mengantar orang ke tempat Mbah Sidiq itu. Wah, dasar pinter omong, kalau bercerita tentang Mbah Sidiq, Nasrul bisa membuat orang lupa acaranya sendiri.

“Percaya tidak, saya pernah diajak beliau ke makam Sunan Ampel di Surabaya,” kata Nasrul suatu hari di warung Wak Rukiban yang biasa dipakai mangkal Nasrul dan kawan-kawan. “Saya piker beliau akan berdo’a di makam wali itu; ternyata tidak. Tahu apa yang beliau kerjakan di makam?” Nasrul sengaja berhenti sejenak, seperti menunggu jawaban dari orang-orang yang asyik mendengarkannya.

“Apa?” tanya beberapa orang serempak.

Nasrul tersenyum. Senang pancingannya bersambut. Dia menghirup kopinya dulu sebelum kemudian melanjutkan,

“Tahu tidak? Beliau berdiskusi dengan Sunan Ampel serius sekali.”

“Berdiskusi?” kini serempak semua yang mendengarkan bertanya. Nasrul tampak semakin senang.

“Ya, berdiskusi laiknya dua tokoh yang sedang membahas suatu masalah penting.”

“Dari mana kau tahu beliau sedang berdiskusi dengan Sunan Ampel?” tanya Pak Manaf, guru SD yang mulai tertarik dengan tokoh yang menjadi buah bibir itu.

“Bagaimana saya tidak tahu, wong saya duduk di belakang beliau. Memang saya sendiri tidak mendengar suara Mbah Sunan, tapi dari bicara dan sikap Mbah Sidiq, jelas beliau sedang berdiskusi.”

“Apa yang mereka diskusikan?” tanya Mas Slamet Pemborong, benar-benar ingin tahu.

“Saya tidak tahu persis, tapi saya dengar Mbah Sidiq berkali-kali mengatakan, ‘Eyang harus menolong mereka!’ Tentu saja saya tidak berani bertanya kepada beliau, siapa yang beliau maksud dengan ‘mereka’. Tapi ketika meninggalkan makam, beliau berkata kepada saya, ‘Sudah, beres sekarang! Orang-orang itu suka berbuat seenaknya sendiri; nanti kalau ada masalah, awak pula yang disuruh memecahkan. Dasar politisi!’ Dari sini saya menduga agaknya beliau mendiskusikan soal politik dengan Mbah Sunan.”

Siapa Srul, orang-orang yang digerunduli Mbah Sidiq dan disebut politisi itu?” Tanya Mas Slamet lagi.

“Persisnya saya tak tahu. Soalnya banyak orang gede dari Jakarta yang sowan Mbah. Mulai dari pengusaha besar; anggota DPR, sampai menteri. Bahkan ada jenderal yang sering sowan sendirian. Saya hanya tahu beberapa diantara mereka; kebetulan saya sering melihat mereka di TV.”

“Ngapain aja orang-orang gede itu datang ke Mbah Sidiq?”

“Lho, orang-orang gede itu kan banyak mikir ini-itu, dan di jaman sekarang ini banyak hal yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan pakai otak. Mereka itu, kalau sudah buntu pikirannya, datang ke Mbah minta fatwa dari langit.”

“Ngomong-ngomong, apa benar; Srul, Mbah Sidiq itu suka menggigit tamunya?” tanya Wak Rukiban tiba-tiba.

“Ah, ya nggak mesti,Wak. Lihat-lihat tamunya. Biasanya, Mbah menggigit telinga orang yang wataknya bandel. Seperti Parman yang suka bikin jengkel ibunya itu kan pernah kena gigit. ‘Telinga gunanya untuk mendengar!’ kata Mbah waktu itu sehabis menggigit telinga Parman. Tapi ada juga tamu yang beliau ciumi atau beliau kasih duit.”

“Katanya Mbah Sidiq tidak pernah salat Jum’at, Kang Nasrul” tanya Haji Kusen yang dari tadi mendengarkan sambil menyantap nasi rawon.

“Lho Mbah Sidiq kan tidak seperti kita. Mbah kalau Jum’atan di Mekkah. Sampeyan tidak pernah mendengar cerita Haji Narto yang bertemu Mbah di pasar Seng Mekkah? Padahal tahun ini Mbah Sidiq tidak naik haji. Tanyakan kepada isteri-isteri Mbah yang selalu menerima oleh-oleh dari beliau! Kadang-kadang Mbah mengoleh-olehi mereka karung; kadang akik Fairuz; kadang kurma Medina. Pokoknya Mbah selalu membawa buah tangan dari tanah suci untuk isteri-isterinya. Padahal setahu orang-orang, Mbah tidak kemana-mana.”

“Berapa sih isteri Mbah Sidiq Srul?” tanya Wak Rukiban sambil meletakkan piring pisang goreng yang masih mengepul.

“Seandainya boleh lebih, ya bisa banyak, Wak. Wong banyak yang ngunggah-ngunggahi, kepingin mendapat berkah. Tapi kan kuotanya cuma empat. Jadi Mbah cuma punya empat.”

“Tapi apa benar dia itu kiai?” tiba-tiba Pak Guru Manaf kembali bertanya. “Saya dengar dia itu tidak bisa mengaji.”

Nasrul kelihatan tidak suka dengan pertanyaan Pak Manaf; apalagi dia menggunakan kata ganti “dia” untuk orang yang sangat dihormatinya, tidak menggunakan “beliau”. Maka dengan nada jengkel yang tidak ditutup-tutupi, Nasrul berkata, “Memang orang yang tidak tahu ilmu hakikat pasti bingung melihat Mbah Sidiq. Mbah Sidiq itu-tidak seperti kau-bisa pagi tidak tahu apa-apa, malam harinya tiba-tiba sangat alim melebihi kiai mana pun!”

“Ah, masak iya, Srul?” tukas Pak Manaf tidak percaya.

“Wow kamu sih. Dasar sekolah umum!” Nasrul mulai benar-benar marah lantaran ceritanya tak dipercayai. “Beliau itu setiap hari ketemuan Syeikh Abdul Qadir Jailani. Jangan sembarangan kau! Kualat baru tahu! Saya menyaksikan sendiri bagaimana Mbah berdebat dengan kiai, dengan dosen, dengan orang-orang pintar; semuanya tidak berkutik di hadapan Mbah.
***

Beberapa bulan kemudian di warung Wak Rukiban. “Ada yang tahu kabarnya Nasrul?” tanya Wak Rukiban kepada para langganannya sambil menyodorkan kopi pesanan. “Sudah lama sekali dia tidak ngopi kemari.”

“Mungkin sedang keliling dengan Mbahnya,” sambut Pak Manaf.

“Jangan-jangan sakit?” celetuk Mas Slamet Pemborong.

“Nggak kalau sakit,” sahut Haji Husen. ‘Kemarin dulu saya kerumahnya. Kata orang yang nungguin rumahnya, dia sedang keluar kota. Istrinya malah sudah duluan pergi. Mungkin Nasrul nyusul istrinya.”

“Orang yang nungguin rumahnya nggak bilang mereka ke mana, urusan apa?” tanya Mas Slamet.

“Wah, saya tidak macam-macam,” jawab Haji Kusen, “wong saya datang hanya karena ingin ketemu Nasrul yang sudah lama tidak kelihatan batang hidungnya. Nggak ada urusan lain.”

“Pastilah seperti biasa, Nasrul ngederekke Mbah Sidiq!” tegas Pak Manaf yakin.

“Nggak!” sela Wak Rukiban “Kalau pergi mengikuti Mbah Sidiq, paling lama seminggu-dua minggu. Malah cerita tentang dia kemudian yang berminggu-minggu.”

“Bagaimana kalau nanti kita ramai-ramai ke rumahnya?” usul Mas Slamet.

Belum lagi semuanya menyampaikan persetujuan, tiba-tiba masuk orang yang sedang mereka bicarakan.

“Wah, panjang umur kau, Srul!” sambut Wak Rukiban gembira. “Baru saja kami membicarakanmu.”

Semuanya pun berdiri menyalami seperti menyambut orang penting datang. Nasrul sendiri kelihatan tidak seperti biasanya. Badannya tampak kurus. Wajahnya pucat. Dia menyalami kawan-kawannya tanpa semangat. Bahkan secuil senyum pun tak tersungging di bibirnya. Duduknya pun seperti terhempas begitu saja. Dia mengambil nafas panjang, baru kemudian berkata lirih, “Kopi, Wak!”

Tentu saja kawan-kawannya heran. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Bertanya-tanya dalam diam. Tapi seperti sepakat, mereka tidak berkata apa-apa, menunggu Nasrul sendiri yang mulai bercerita seperti biasanya. Ketika Wak Rukiban menyodorkan kopi pun mereka hanya mengucap, “Silahkan Srul!”

“Terimakasih, Wak!” kata Nasrul lirih, kemudian menuang kopi pelan-pelan ke lepeknya. Kawan-kawannya hanya mengawasinya. Mereka melihat tangan Nasrul gemetar hingga menumpahkan kopi di sekitar lepeknya, tapi mereka semua tetap diam.

Nasrul menghirup kopinya sambil memejamkan kedua matanya, seperti angin meresapkan sari kopi ke dalam dirinya. Begitu habis kopi di lepek diminumnya, dia menuang lagi dan menumpahkan lagi di sekitar lepek. Setelah meminum kopi yang kedua kalinya, tangannya merogoh saku dan mengeluarkan rokok kreteknya. Dengan gemetar dilolosnya sebatang dan diselipnya di mulutnya. Tanpa berkata-kata, Pak Manaf yang ada di dekatnya menyalakan korek untuknya.

Seperti ketika meminum kopi, Nasrul kemudian menghisap rokoknya sambil memejamkan mata. Dua-tiga isapan, baru kemudian Nasrul memandangi satu-satu wajah kawan-kawannya, seolah-olah dia baru menyadari kehadiran mereka. Pak Manaf sudah hampir tidak sabar menunggu. Sudah hampir membuka mulut. Tiba-tiba terdengar suara Nasrul seperti bukan dari mulutnya sendiri. Lirih tapi terdengar sangat keras dan tajam bagai sembilu: “Sidiq bajingan!”

Hampir semua mulut kawan-kawannya ternganga seperti merekalah yang terkena tikam umpatan Nasrul itu.

Belum hilang tanda tanya mereka, Nasrul sudah bergumam lagi, “Wali macam apa itu? Seperti tahi termakan, aku menyesal ikut membesar-besarkan namanya. Bangsat! Penipu!” Semakin serak suara Nasrul, kemudian pecahlah tangisnya.

Diletakkannya kepalanya di atas meja tanpa menghiraukan tumpahan kopi yang mengotorinya. Spontan Pak Manaf meletakkan dan menepuk-nepuk tangan ke pundaknya penuh iba.

“Sabar Srul. Apa yang terjadi? Ceritakanlah kepada kawan-kawanmu ini. Tumpahkan semua isi dadamu, biar lega!”

“Maaf, Kang!” Nasrul mencoba mengangkat kepalanya kembali. “Aku kurang sabar bagaimana? Semua yang diminta -bahkan banyak yang tidak diminta-sudah aku berikan. Sawah dan sapiku kuserahkan kepadanya. Sepeda motor kujual untuk menyenangkannya. Lho kok tega-teganya membawa kabur isteriku! Masyaallah! Manusia laknat macam apa itu?! Dipukulnya tangannya ke meja hingga menggulingkan beberapa cangkir dan gelas.

Semuanya terkesiap. Semuanya seperti tak percaya akan apa yang mereka dengar. Semuanya merasa seperti ada tikaman duka yang mengenai Nasrul, tembus ke dada-dada mereka sendiri.