Pemimpin yang Kuat dan Amanah

Seperti kita ketahui, ketika Rasulullah SAW wafat, beliau tidak berwasiat atau menunjuk dengan tegas seseorang sebagai gantinya, khalifahnya. Namun, ada semacam isyarat yang mengarah kepada shahabatnya yang paling dekat, sahabat Abu Bakar Shiddiq r.a. 

Shahabatnya yang sekaligus juga mertuanya ini yang diminta mewakilinya menjadi imam shalat saat beliau sudah sangat payah. Dan ternyata musyawarah antara dua kelompok sahabat-Muhajirin dan Anshar-di Saqiefah Bani Sa’idah akhirnya memilih shahabat Abu Bakar r.a. sebagai khalifah pertama. 

Ketika shahabat Abu Bakar sakit menjelang kewafatannya, beliau sengaja memanggil orang kuat yang menjadi kepercayaannya, sahabat Umar Ibn Khatthab r.a., untuk diajak berembug mengenai penggantinya kelak; meski khalifah pertama ini sudah memiliki ketetapan hati menunjuk tangan kanannya tersebut untuk menggantikannya.

Mendengar keinginan sang khlaifah mengangkat dirinya sebagai penggantinya apabila mangkat, sahabat Umar pun mula-mula menolaknya dengan tegas. Berbagai alasan keberatan dikemukakannya dengan tidak lupa memberi alternatif-alternatif. Sahabat Umar antara lain beralasan masih banyak orang baik dan amanah selain dirinya. Tapi, sang khalifah bersikukuh. “Melihat kondisi rakyat sekarang, pemimpin yang dapat dipercaya saja tidak cukup. Saya ingin tokoh yang akan memimpin setelah saya adalah orang yang dapat dipercaya dan kuat. al-Qawiyyul Amien.”

Bila yang dikehendaki adalah pemimpin yang kuat dan dapat dipercaya, maka siapakah di zaman itu yang dapat menandingi al-Faruq Umar Ibn Khatthab? Namun, sahabat Umar masih tetap berusaha menolak keinginan khalifah yang sangat dihormatinya itu, bahkan hingga menangis. Sampai kemudian Ash-Shiddiq berkata penuh kearifan,“Wahai Umar, dalam urusan kekuasaan ini ada dua orang yang celaka; pertama, orang yang berambisi menjadi penguasa, padahal dia tahu bahwa ada orang lain yang lebih pantas dan lebih mampu daripada dirinya. Kedua, orang yang menolak ketika diminta dan dipilih, padahal dia tahu dirinyalah yang paling pantas dan paling mampu; dia menolak semata-mata karena lari dari tanggungjawab dan enggan berkhidmah kepada umat.”

“Wahai Abu Bakar, demi persahabatan dan kecintaanku kepadamu, jauhkanlah aku dari beratnya hisab di hari Kiamat kelak!”

“Kau lupa, Umar, imam yang adil kelak akan dipayungi Allah di hari tiada payung kecuali payung-Nya.”

Umar semakin keras menangis,“Imam yang adil ya; tapi aku?”

“Kau juga. Kau juga, Umar!”

“Besok di hari Kiamat, kau tidak bisa menolongku apa-apa, Abu Bakar, bila Allah menghendaki menghukumku.”

“Wahai Umar anak Ibu Umar, bukan demikian Allah ditakwai dengan sebenarnya. Bukankah kau tahu ayat yang longgar turun selalu dibarengi dengan ayat yang keras dan sebaliknya, agar orang mukmin selalu dalam harap dan cemas. Tidak mengharap dari Allah sesuatu yang ia tidak berhak atasnya dan tidak cemas atas sesuatu yang diletakan Allah di tangannya. Bila setiap orang yang mempunyai tanggungjawab tidak melaksanakannya karena takut kepada Allah, niscaya takut kepada Allah akan berubah menjadi buruk sangka kepada-Nya. Dan akan rusaklah tatanan dan tersia-siakanlah hak-hak mustadh’afin.”

Demikianlah, apa yang terjadi sepeninggal Khalifah Abu Bakar pun seperti yang diinginkannya. Sahabat Umar Ibn Khatthab menjadi penggantinya. Pemimpin yang kuat dan amanah. Begitu kuatnya sehingga kebenaran dan keadilan terjaga dan tak seorang pun berani dan mampu melecehkannya. Begitu amanahnya, sehingga tak secuil pun hak rakyat diabaikan.

Kini di hadapan kita berjejer tokoh-tokoh yang siap kita calonkan menjadi pemimpin dan penguasa negeri dan bangsa ini. Siapkah kira-kira mereka diukur dengan kriteria khalifah Abu Bakar Shiddiq di atas, meski tidak harus persis seperti al-Faruq Umar?

Menyambut Tahun Baru 2018




اللهم يا نور اخرجنا من الظلمات إلى النور ، يا رحمن يا رحيم ارحمنا...

Ya Allah ya Tuhan kami, ya Mahacahaya, keluarkan kami dengan pancaran cahyaMu dari kegelapan kebodohan ke cahaya kearifan; dari kegelapan kebencian ke cahaya kasih sayang.

يا نور فوق كل النور نور قلوبنا...

Wahai Mahacahaya di atas segala cahaya, pancarkanlah cahayaMu dan jangan sisakan sekelumit pun gelap dalam kalbu kami. Jangan biarkan sirik dan dengki, ujub dan takabur, kebencian dan dendam, dusta dan kemunafikan, dan bayangan-bayangan hitam lainnya menutup pandangan mata batin kami dari keindahan WajahMu; menghalangi kami mendapatkan KasihsayangMu, menghambat sampai kami kepadaMu. Ãmïn

Tetang Azab Allah



TENTANG AZAB ALLAH

oleh KH. A. Mustofa Bisri


قل هو القادر على ان يبعث عليكم عذابا من فوقكم أو من تحت أرجلكم أو يلبسكم شيعا ويذيق بعضكم بأس بعض؛ انظر كيف نصرف الآيات لعلهم يفقهون."
(Q. 6: 65) 

"Katakanlah, Dialah yang kuasa mengirim azab kepadamu, dari atas kamu, atau dari bawah kakimu atau mengacaukan kamu dalam kelompok-kelompok fanatik dan mencicipkan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain. Lihatlah bagaimana Kami terus mendatangkan berbagai ayat agar mereka mengerti."

1. Perhatikan redaksi ayat di atas. Yang digunakan ialah kata "يبعث" yang berarti "mengirim" (meski ada juga yang tetap menerjemahkannya secara bebas dengan "menurunkan"). Menurutku, "mengirim", tidaklah sekedar menurunkan. Dalam "menurunkan" siksa, hanya menerangkan azab yang (di)turun(kan). Sementara dalam "mengirim azab", kita mendapat pengertian tentang "azab kiriman" yang boleh jadi dikirim begitu saja, atau karena "diminta" oleh yang mendapat kiriman. Dengan kata lain, ada yang 'meminta' kiriman azab.

2. Dari ayat di atas, kita bisa tahu bahwa azab Allah tidak hanya berupa badai, hujan batu, sambaran petir, dan bencana-bencana dari atas kita lainnya; juga tidak hanya gempa, banjir, tanah longsor, dan musibah-musibah lain yang datang dari 'bawah kaki' kita. Tapi yang tak kalah dahsyatnya adalah kekacauan antar kelompok-kelompok di antara kita manusia, dimana masing-masing kelompok menunjukkan keganasannya kepada yang lain.

Wallahu a'lam. Semoga Allah mengampuni kita dan mengampuni para pemimpin kita.